Elisabeth Kusrini, Aktivis Perempuan
(Lahir dan besar di kota Palembang)
Slogan “Ibu Cukup Menata Rumah! Biar Bapak yang Menata Kota” yang diusung oleh calon walikota Ratu Dewa dalam kampanye Pilkada Palembang 2024 mengandung nuansa stereotip gender yang problematis. Pesan tersebut seolah-olah menempatkan peran perempuan hanya dalam lingkup domestik, sementara laki-laki dianggap lebih pantas dan kompeten untuk menangani urusan publik dan tata kelola kota. Pandangan seperti ini tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan tetapi juga memperkuat bias sosial yang sudah lama menempatkan perempuan pada posisi subordinat dalam masyarakat. Di era modern, pandangan ini terasa ketinggalan zaman dan mengabaikan potensi besar yang dimiliki oleh perempuan dalam berbagai sektor, termasuk kepemimpinan publik.
Sebaliknya, slogan yang diusung oleh Fitrianti dan Nandriani, “Ibu Kita Menata Ibukota,” justru mengirimkan pesan pemberdayaan perempuan. Dengan pasangan kandidat perempuan yang menonjolkan peran perempuan dalam tata kelola kota, slogan ini mengajak masyarakat untuk mengakui bahwa perempuan juga mampu memimpin dan berkontribusi dalam pembangunan kota. Narasi ini menantang stereotip tradisional dan membuka ruang bagi kesetaraan gender dalam kepemimpinan politik. Di tengah arus global yang semakin inklusif terhadap keterlibatan perempuan dalam ranah publik, slogan ini lebih sesuai dengan semangat zaman yang mendukung kesetaraan hak dan peluang bagi semua.
Slogan yang diusung Ratu Dewa tidak hanya berpotensi menyinggung perempuan, tetapi juga bisa mereduksi dukungan dari segmen pemilih perempuan yang semakin berdaya secara politik dan ekonomi. Pemilih perempuan yang semakin kritis akan menuntut pemimpin yang mendukung partisipasi aktif mereka dalam pembangunan, bukan hanya dalam urusan rumah tangga. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inklusif dan sensitif gender diperlukan dalam membangun komunikasi politik yang efektif dan tidak diskriminatif.
Dalam kontestasi politik modern, slogan yang mengedepankan peran perempuan sebagai pemimpin di ruang publik seperti yang disampaikan Fitrianti dan Nandriani lebih relevan dan progresif. Sementara itu, slogan Ratu Dewa justru bisa menciptakan jarak antara dirinya dan pemilih perempuan, yang merupakan kekuatan besar dalam proses demokrasi. Dalam jangka panjang, visi kepemimpinan yang inklusif, menghargai, dan memberdayakan perempuan akan lebih diterima oleh masyarakat yang semakin menyadari pentingnya kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik dan tata kelola pemerintahan.
_1 Oktober 2024_
Elisabeth Kusrini, Aktivis Perempuan
(Lahir dan besar di kota Palembang)